Jumat, 19 Juni 2015

Obrolan Sang Buruh Tani dan Kusir Delman

(Sebuah oretan, di pagi hari)
Mentari baru setengah menyingsing, kala suasana mellow membuat hariku tak karuan. Baby boy kutinggal di kamar dalam keadaan belum sarapan; sebotol susu dan selapis roti strawberry sebagai pengganjalnya.

Kubuka korden jendela ruang tamu agar ventilasi udara terjaga. Tiba-tiba di depan rumah, terdengar riuhnya semangat para buruh tani yang berbondong menyeberang jalan, tujuan mereka jelas, mencari upah demi sesuap nasi, dan biaya sekolah sang anak, serta membayar beberapa utang yang menjerat.

Tak terlihat gurat sedih pada wajah-wajah tersebut, sesekali terdengar celetukan dengan dialek khas kota ini. Aneh, lucu, walaupun tak hanya sebulan-dua bulan aku menetap di sini. Namun, masih terdengar unik, untuk seorang yang terbiasa hidup di kota besar sedari bayi, dengan dialek tanpa nadanya.

Sebuah dokar lewat dengan lambat, membuat beberapa orang ibu dan seorang bapak---para buruh tersebut---menjadi diam, tercegat. Entah, apa yang membuat tawa mereka terhenti, dan melihat ke arah si pengendali dokar itu.

"Badhe tindak ten pasar tah, Mbah?" terdengar suara salah satu dari mereka.

"Iyo," jawab sang Kakek, sembari melecut kudanya perlahan.
Ada gurit perih di jantungku, kala melihatnya. Seandainya beliau adalah ayahku? Ah, umur yang terlalu senja untuk tetap mengais rezeki.

Kemudian, sang Ibu terlihat setengah berlari mendekati sang Kakek.

"Loh, Mbah. Panjenengan salah," ucapnya, lagi.

Lelaki yang sudah uzur tersebut terlihat bingung, nampak jelas rautnya yang tertekuk dengan alis menyatu. Laju kudanya dihentikan.

"Opo tho, maksude?"

"Njenengan niki, salah arah, Mbah. Pasar niku lewat mriko,"1 sambil ditunjukkan arah yang benar.

Penasaran akan reaksi beliau, aku masih memperhatikan mereka semua dari balik jendela yang terbuka. Ternyata Kakek tersebut hanya terkekeh sambil memukul ringan kepalanya, "Iyo, aku lali e karo dalane!"2

"Mpun Mbah, Panjenengan mantuk, nggih. Mangke malah mboten saget nyampe griyo, repot nek nyasar,"3 kata Ibu berbaju lapis kaos warna biru itu.

"Koksik, lah omahku, arahe nangendi, sing sebelah ngendi. Aku yo lali e!"4 celetuk beliau, polos.

Olala, usut punya usut -- setelah sang Ibu tadi, yang tak lain adalah tetangganya, menunjukkan jalan pulang -- ternyata beliau seorang pelupa, dahulu memang bekerja menarik dokar. Namun, beranjaknya usia, mewajibkannya untuk segera berhenti bekerja. Dan, dokar yang dibawa, adalah milik sang tetangga, kebetulan sang suami sedang terbaring tak berdaya.

Pagi ini, memang berbeda. Senyum simpul pun mulai merekah, tanpa kusadar. Secuil malu menyelinap di hati, buru-buru mengucap istighfar, menyebut Sang Ghoffar. Ternyata, menjadi bahagia itu tidaklah sukar!

Nowhere, 11 Maret 2015

Noted:
  1. Mbah ini arahnya salah. Pasar itu harusnya lewat sana.
  2. Iya, aku lupa jalannya.
  3. Sudah Mbah, pulang ya. Nanti bukannya sampai di rumah, bisa-bisa nyasar.
  4. Sebentar, arah menuju rumah Mbah, sebelah mana? Mbah lupa!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar