Selasa, 23 Juni 2015

Celoteh Ihsan #9

Ngabuburit (part 1)

Puasa hari keempat, tanteku yang biasa dipanggil Atuk oleh Ihsan, mengajak ke Masjid Akbar. Kebetulan sekali, aku udah bosen sama lauk di rumah yang kebetulan itu-itu aja. Lagian Ihsan juga belum pernah keluar rumah sejak datang ke Surabaya.

Singkat cerita, jam 4 teng kami dah siap berangkat. Loh, Ihsannya mana? Kami mencarinya, ke ruang tamu, kamar tidur, rumah tante. Juga gak ketemu.

"Ihsan-Ihsan!" Kami semua memanggilnya.

"Ihsan di sini, Mom." Suaranya kok terdengar dari belakang ya?

Segera kami menuju dapur, "Ihsan loh cuci tangan. Tadi habiz pegang pelmen." Celotehnya dengan santai.

Ya Allah, belum juga keluar rumah, guardian angelku sudah kaya gini, semoga pas nyampe gak bakalan rewel. Batinku.

Waktu berlalu, lima belas menit kami gunakan untuk mencari Ihsan. Setelah memakaikannya jaket, kami bertiga siap berangkat.

Tiba-tiba dia berteriak, "Bental---" kemudian dia berlari ke dalam, sambil keluar membawa botol aqua tanggung, "---ketinggalan!"

Kulirik jam dinding ternyata sudah setengah lima, tanpa membuang masa kami menuju tempat antrean angkot. Namun, lengang.

Kosong.

Tak ada satu pun yang nampak di situ. Entah, kenapa.

Masih menanti, senja mulai menunjukkan cahyanya, sepertinya sudah tak memungkinkan, walaupun guardian angelku berontak.

"Ayo balik. Udah terlalu sore."

"Mom..." Ihsan mulai menampakkan tanda-tanda rewelnya.

"Besok ya, sekarang pulang. Kelamaan angkotnya, Sayang." Dia hanya menatapku.

"Gendong ae biar, Fit," tukas tanteku.

Ihsan hanya diam selama perjalanan pulang, namun baru sampai pintu rumah masih dengan sandalnya. "Bi, besok ke Masjid Agung, ya!"

Ramadhan ke-4, 2015

Minggu, 21 Juni 2015

Celoteh Ihsan #8

Puasa, kok?
(Hari Pertama Puasa)

Ashoka sedang marah, dia tidak percaya bahwa ibunda yang dicintainya meninggal dunia. Maka melihat betapa kerasnya dia berusaha, sang Guru Acarya Canakya meluluskan keinginannya untuk keluar dari istana.

~

Itulah sepenggal drama hindi sambil makan sahur, beberapa menit kemudian Ashoka buyar dan diganti dengan drama bollywood lainnya yang melegenda.

Si kecilku masih pulas di kasur, nampak polos dan cute. Berbeda sekali jika dia sudah kembali aktif. Setelah makanku selesai, tak terasa imsak berkumandang.

"Ihsan gak puasa, Fit?" Tanteku seakan hendak membangunkannya.

"Nanti, ben bangun dewe, Ma." Asal kujawab, daripada guardian angelku dipaksa tersadar dari bunga tidurnya. Tak tega rasanya.

"Yawes, Mama subuhan dulu." Kemudian tanteku segera mengambil wudhu.

***

Jam lima lebih lima belas menit

Aku sedang bermain gadget ketika melihat Ihsan yang pulas terbangun kemudian berdiri, kepalanya mencari sesuatu atau seseorang, lalu tertumbuk padaku.

"Mom!" Dan dia terhuyung dipelukanku.

"Assalamu'alaikum. Udah bangun anaknya Mommy?" Sambil mengulurkan tangan kananku, refleks diraih Ihsan.

"Mom, Asan haus!"

"Ini, diminum air putihnya." Sambil kuulurkan secangkir.

"Emoh. Asan mau teh!"

"Bangun tidur itu lebih baik minun air putih, Sayang,"

"Ayo ke Abi." Dia mulai menggunakan akalnya untuk minum teh.

"Nanti. Minum dulu air putihnya."

"Halah... Asan gak suka lah," Nah, keluar sudah bahasa Upin-Ipinnya.

"Itu, suaranya Abi. Ayo, Mom!" Sambil berlari keluar pintu. Kalah sudah air putihnya? Belum tentu. Heeee...

"Assalamu'alaikuuuum... Ummi, Asan mau minum teh!"

"Ihsan sudah minum air putih?" Dia menggoyangkan kepalanya.

"Minum air putih dulu, baru makan ya, Nak."

"Asan puasa lah, Mi."

"O, Ihsan mau puasa? Nanti, kalo sudah makan sama minum air putih."

"Teh!"

"Minum air putih dulu, trus makan kurma. Ya?" Akhirnya aku ikutan bicara.

"Mau." Kemudian dia mengambil cangkir dari meja.

"Kok gak dihabisin?" Kebiasaan kalo minum air putih, cuma dikit.

"Udah. Nanti lagi." Nah, alasannya mulai keluar.

"Gak Mom kasih kurma loh," Baru dia menghabiskan air pitih tadi. Kemudian, setelah memakan kurma dua butir, nasi dan sayur sop kesukaannya. Hanya separuh, dia sudah menyerah.

"Kok udahan?"

"Asan udah kenyang lah." Kemudian dia belari ke dalam kamar dan mengambil truk mainannya ke ruang tamu. Kok ga ada suaranya?

Ternyata, sudah sampai di alam mimpi. 😊

Surabaya, 19062015

Kelud

Gunung-menggunung berderak
dalam aliran seismograf tercetak

Penduduk berdiam;keras
Pengungsi pergi;merana
Menetap pada mata telanjang, telinga gajah;awas
Keluar dari harta dunia demi sebuah nyawa

Pemerintah perintahkan siaga dua
penduduk berpijak, tak mengalah
Pengungsi komatkamit merapal do'a

Nowhere, 14022015

Renjana Hamba Kepada Sang Maha

Renjana bertahta pada jiwajiwa pendamba
Dalam embusan bayu surgawi menelusup poripori--tempat bernama hati
Seharusnya, aku datang kepada-Mu
Sebelum jerit tak lagi bersuara
Sebelum tangis tak lagi berair mata
Sebelum berhenti detak dentum dalam dada
Anganku melesat
Sekilat menyayat pelayat melawat mayat

Hati mengembara tanpa arah;hilang logika
Seharusnya aku datang!
Kepada-Mu
Sebelum RUH beringsut
Dari jemari kaki ke lutut
Dari paha ke perut
Dari dada ke sikut
Dari janggut ke rambut

Kuharap tengadah tapak dalam hening
mata terbuka mata hati
Senyapkan ego karena renjana menguasai tiap saat
Seharusnya aku datang kepada-Mu
Sebelum mengendarai keranda
Sebelum ditutup buku catatan alpa
Sebelum basah gundukan tanah pusara

Seharusnya Aku!!!
Datang Kepada-Mu,
Sebelum puisi tak bisa lagi berpuisi
(Pada hari itu, hanya tubuh mampu bicara jujur
Sebab, anggota tubuh adalah instrument paling jujur)

Nowhere, 16062014

Jumat, 19 Juni 2015

Obrolan Sang Buruh Tani dan Kusir Delman

(Sebuah oretan, di pagi hari)
Mentari baru setengah menyingsing, kala suasana mellow membuat hariku tak karuan. Baby boy kutinggal di kamar dalam keadaan belum sarapan; sebotol susu dan selapis roti strawberry sebagai pengganjalnya.

Kubuka korden jendela ruang tamu agar ventilasi udara terjaga. Tiba-tiba di depan rumah, terdengar riuhnya semangat para buruh tani yang berbondong menyeberang jalan, tujuan mereka jelas, mencari upah demi sesuap nasi, dan biaya sekolah sang anak, serta membayar beberapa utang yang menjerat.

Tak terlihat gurat sedih pada wajah-wajah tersebut, sesekali terdengar celetukan dengan dialek khas kota ini. Aneh, lucu, walaupun tak hanya sebulan-dua bulan aku menetap di sini. Namun, masih terdengar unik, untuk seorang yang terbiasa hidup di kota besar sedari bayi, dengan dialek tanpa nadanya.

Sebuah dokar lewat dengan lambat, membuat beberapa orang ibu dan seorang bapak---para buruh tersebut---menjadi diam, tercegat. Entah, apa yang membuat tawa mereka terhenti, dan melihat ke arah si pengendali dokar itu.

"Badhe tindak ten pasar tah, Mbah?" terdengar suara salah satu dari mereka.

"Iyo," jawab sang Kakek, sembari melecut kudanya perlahan.
Ada gurit perih di jantungku, kala melihatnya. Seandainya beliau adalah ayahku? Ah, umur yang terlalu senja untuk tetap mengais rezeki.

Kemudian, sang Ibu terlihat setengah berlari mendekati sang Kakek.

"Loh, Mbah. Panjenengan salah," ucapnya, lagi.

Lelaki yang sudah uzur tersebut terlihat bingung, nampak jelas rautnya yang tertekuk dengan alis menyatu. Laju kudanya dihentikan.

"Opo tho, maksude?"

"Njenengan niki, salah arah, Mbah. Pasar niku lewat mriko,"1 sambil ditunjukkan arah yang benar.

Penasaran akan reaksi beliau, aku masih memperhatikan mereka semua dari balik jendela yang terbuka. Ternyata Kakek tersebut hanya terkekeh sambil memukul ringan kepalanya, "Iyo, aku lali e karo dalane!"2

"Mpun Mbah, Panjenengan mantuk, nggih. Mangke malah mboten saget nyampe griyo, repot nek nyasar,"3 kata Ibu berbaju lapis kaos warna biru itu.

"Koksik, lah omahku, arahe nangendi, sing sebelah ngendi. Aku yo lali e!"4 celetuk beliau, polos.

Olala, usut punya usut -- setelah sang Ibu tadi, yang tak lain adalah tetangganya, menunjukkan jalan pulang -- ternyata beliau seorang pelupa, dahulu memang bekerja menarik dokar. Namun, beranjaknya usia, mewajibkannya untuk segera berhenti bekerja. Dan, dokar yang dibawa, adalah milik sang tetangga, kebetulan sang suami sedang terbaring tak berdaya.

Pagi ini, memang berbeda. Senyum simpul pun mulai merekah, tanpa kusadar. Secuil malu menyelinap di hati, buru-buru mengucap istighfar, menyebut Sang Ghoffar. Ternyata, menjadi bahagia itu tidaklah sukar!

Nowhere, 11 Maret 2015

Noted:
  1. Mbah ini arahnya salah. Pasar itu harusnya lewat sana.
  2. Iya, aku lupa jalannya.
  3. Sudah Mbah, pulang ya. Nanti bukannya sampai di rumah, bisa-bisa nyasar.
  4. Sebentar, arah menuju rumah Mbah, sebelah mana? Mbah lupa!

Kekasih dan Bintang

Kekasih dan Bintang

Sebentuk purnama terang bersinar
menularkan pada satu bintang muda dari redup berpijar
Sang kemukus terlihat pasi,
melihat sang kekasih menjadi saksi
Binar itu berubah temaram seolah kabut hitam
menelan hasrat hidupnya di ujung kelam

"Merpati tak ingkar janji
Lambang cinta nan setia
Selalu hingga ajal menyapa"

Namun, bintang itu terlupa, terlena
Tanpa sadar menyalahi amanat-Nya

Kekasih terluka, terpana, tak dinyana
Terlempar keluar nalar
Jarak membentang ciptakan benteng menjulang
Luka itu menganga
dan, kemudian tersiram air cuka
Perih, terasa pedih
Kekasih hanya melihat dari balik lirih

Sekali, dua, cukup sudah
takkan ada ketiga
Hati, terlanjur bernanah
lepaskan diri kembali awal semula

Pontang-panting, Kocar-kacir
bangkit dengan hati membanjir
Kekasih tinggal, lara 'kan terus menyapa
Kekasih pergi, demi kandungan selamat berjaya
Bintang terluka, terpuruk dalam duka hingga hayatnya..

Nowhere, 14 Februari 2014

https://m.facebook.com/messages/#!/groups/488655531196343?view=permalink&id=665264083535486&p=40&ref=bookmark

Celoteh Ihsan #1

Amuk... oh, Amuk

Sambil menikmati sore hari seperti biasa, aku dan ihsan menyantap makanan sambil menonton film kartun di beberapa channel di stasiun TV swasta.

"Kenapa beberapa channel?"

Jika ada yang bertanya demikian, silahkan anda melihat sendiri ketika waktu menunjukkan jam 3 sore, bahkan ada satu channel yang mulai menayangkan kartun jam 1.30 siang.

Ketika kami berdua sedang memakan masakanku, film animasi pun ditayangkan.

Terlihat dari matanya yang bercahaya, sambil mencomot nasi bergantian dengan lauk dari dalam mangkuk bayi miliknya.

Sesekali dia tersenyum riang, ketika duo kembar jagoannya beraksi laiknya detektif profesional sedang menyelidiki kasus hilangnya Rambo, Ayam Kate Atuk. Beberapa menit kemudian, iklan pun mulai terlihat.

"Mama.. Mama.. Amuk, amuk.. Mama." serunya sambil menunjuk tayangan di televisi.

Aku mengangguk, sambil tetap menyendok makanan ke dalam mulutku.

"Mama.... Amuk.. Tuh, Amuk.. Hiiiii." teriaknya lagi, iklannya masih berlangsung.

Dan sekali lagi aku mengangguk, kali ini sekilas melirik tayangan iklan tersebut.

"Ma... Mama.. Amuk!!!" Ihsan pun dengan tangan mungilnya yang berlepotan sayur.

Dengan kekuatan maksimalnya, memegang kedua pipi ini dan memaksaku untuk mengalihkan tatapan penuh khusyuk dari makanan ke arah televisi.

"Ma.. Tuh, Amuk. Agon. Acun. Hiiiii." ucapnya sambil mengeja per kata. Nyamuk. Baygon. Racun.

Rentetan kata yang terucap membuatku tersenyum. Kepolosan kata yang disebutkan tiap kali aku mengajarinya untuk menepuk sang serangga terbang penghisap dara tersebut. Menjauhinya dari obat nyamuk yang senantiasa menyala untuk mengamankan rumah dari mereka, dan kata racun ketika dia kupinta untuk menjauhi obat tersebut.

Kuletakkan piring, mendekap sambil mencium wangi kepalanya yang masih beraroma kemiri. Dalam hati aku bersyukur, sang malaikat kecil ini semakin hari semakin membuatku takjub dengan polah tingkahnya.

Nowhere, 30 januari 2014

pernah dipublish di grup KBM

Celoteh Ihsan #2

‪‎Edisi Pagi‬ dengan Televisi

"Ma... Ivi," ucapnya lima menit yang lalu. Kala Malaikat Kecilku, membuka kedua mata imutnya dari dunia mimpi.

"Assalamu'alaikum." balasku, sambil mengulurkan tangan kananku untuk dia jemput mencapai hidung bangirnya.

"Alam." jawabnya sambil mencoba bangun, kemudian menyambut uluran tanganku.

"Ivi, Ma!"

Tanpa menunggu lebih lama lagi, kucolokkan kabel televisi ke saklarnya, mengambil remote dan menekan angka 6 untuk tayangan kartun di pagi hari.

'Tolong, jangan bertanya, mengapa tidak memilih channel 11 saja. Di sana pun terdapat tayangan kartun?'

Serial Winnie dan Pooh pun berlangsung, ternyata baru saja dimulai. Baby Boy mulai bertingkah.

"Emot.. Emot!" sambil menunjuk remote televisi yang tergeletak di atas meja.

Aku menggeleng, praktis.

"Emot! Ma!!! Emot!" teriaknya, dan suaranya terlebih menggelegar kala hari masih pagi, sunyi seperti ini.

"Energen?"

"E'eh.." jawabnya, sambil manggut-manggut mirip burung pelatuk yang sedang beraksi mematuk pohon.

Sekali lagi aku beraksi, tapi, "Ma, endong! Gen! Ambing"

Kugendong bocah dengan berat 12,5 kg ini, menuju tempat di mana biasa aku meletakkan berbagai persediaan makanan. Dia meraih minuman sereal tersebut, memegang sebungkus sambil ketawa-ketiwi, "Gen."

"Ihsan turun ya?" pintaku sembari mencoba menurunkannya.

"Emoh, endong!"

"Itu.. Kartunnya mulai, duduk dulu ya." rayuku.

Dia beralih ke siaran kartun yang sedang berlangsung, duduk dengan tenang, membuatku segera mengolah Energen tadi. Baru saja airnya masuk ke dalam gelas, teriakannya kembali cetar membahana, "EMOT, Ma!"

Nowhere, Februari 2014

Pernah dipublish di grup KBM

Kamis, 18 Juni 2015

Celoteh Ihsan #5

Ihsan Panas

Sebuah gerakan halus membuatku menatapnya, baru saja meluruskan tubuh yang miring. Selimut berupa sarung milik sang Ummi dilepaskan, geliat mungilnya beringsut perlahan, mulai dari tangan kemudian kakinya, dan hup. "Ma, idupin!" rengeknya sambil menjejakkan kaki di atas ranjang.

Kupencet saklar lampu kamar, baby boy berjalan mendekat. "Minum cucu, Ma?"

"Iya, Sayang──" sambil melarutkan sesaschet susu cokelat cair ke dalam gelas, "──taruh dalam botol yah?"

"Emoh!"

"Loh, sekalian bobo...," aku meliriknya yang sedang fokus pada acara televisi.

Langsung saja kumasukkan larutan tadi ke dalam wadah beserta dotnya, sambil mendekati sang guardian angel. Riuh pingkalnya membuat syaraf mukaku mendadak kendur karena rasa santai yang muncul akibat tawanya menjalar padaku.

"Mama ... itu cucu Ican. Iya?" celotehnya masih menyisakan tawa pada wajah cakep itu.

"Ayuk, diminum cakepnya Mom,"──badannya kok panas, buru-buru kuambil termometer digital dan mendekatinya──"Ihsan pakai ini dulu, ya?"

Kalian tahu ekspresinya, temans?

Raja kecilku dalam posisi bersandar ke tembok, dengan mata setengah terpejam kerut di keningnya seakan merasa terluka. He's a real 'lil drama king. Namun, saat melihat alat pengukur panas itu, spontan tubuhnya diangkat dan bergerak menjauhiku. "Emohh!"

"Pakai ini dulu, Sayang. Ga apa, kok. Ayuuk,"

"Emmoohh, Maa!" teriaknya di pojokan kamar sembari meringkuk takut.

Kuambil botol paracetamol rasa raspberry dan menuangkannya ke sendok, cairan itu berpindah masuk mulut menuju saluran pencernaannya, melewati tenggorokan. Uhuukkk! Baru sedetik, obat penurun panas tadi tercecer keluar. Alhamdulillah nggak sampai lewat hidung.

"Minum air dulu, ya!" Buru-buru kuberikan cangkir berisi mineral dan selembar tisu basah untuk mengelap mulut mungilnya.

"Akit, Ma," rengeknya, sambil memegang tenggorokan. Susu cokelat tadi kuambil dan mengembalikannya dalam gelas racikan, sementara botolnya aku tambahkan air hangat.

Sambil kugendong, botol tadi aku minumkan, berharap mampu meredakan perihnya. "Emoh, tuyun, tuyun!" Kemudian dia tiduran di atas lantai sambil mengangkat baju dan kaos dalamnya.

"Ihsan, badanmu panas, ayuk bubu sini," ajakku.

"Panas. Emoh!" Masih dalam posisi yang sama.

Ya Allah, ini anak mesti aku bujuk menggunakan cara apa, agar mau tidur di ranjang, batinku.

Ketika kulihat kemudian, ternyata dia sudah pulas dalam kondisi yang lucu. Terbesit niatan untuk mengabadikannya, namun tak elok jika memotret kala anak sedang tidur. Pamali, kata orang jawa.

Tanpa membuang masa, kubopong lelaki kecil yang makin berat tubuhnya. Di atas ranjang, bibirku menyentuh kening dan ubun-ubun itu, sehingga mengalir bait doa untuk kesembuhan si periang seperti hari-harinya. Cepat sembuh, Sayang.

Mei, 2014

Celoteh Ihsan #6

Ihsan dan Afghan

Hari mulai sepenggalah ketika guardian angelku memainkan salah satu gadget, sambil memencet tombol itu, tak lama terdengar alunan dari penyanyi muda dan ganteng.

....

Jika aku, bukan jalanmu kuberhenti mengharapkanmu
Jika aku, memang tercipta untukmu
Kukan memilikimu

...

Sontak aku menoleh ke arahnya. Apa ga salah lagu yanh dipilih Ihsan? Bukannya dia sangat suka lagu Tu Meri sambil joget-joget ala Vin Rana.

"Mom-Mom, besok Ihsan ke sini yah? Boleh la, boleh la," ujarnya dengan logat Upin-Ipin sembari menunjuk image background Afghan.

Mendadak kepalaku pening. Dari mana juga nemuin foto background lagu terus mikir ke arah sana?

"Apa itu, Ihsan?" aku mencari tau pemikirannya.

"Itu... emm, tempat. Jauuhh. Bagus. Boleh ya ke sana sama Mom?"

"Iya, insya allah."

"Yeay!" Girang sekali baby boy yang sudah menjadi guardian angel kecil ini.

Tak lama berselang, celotehnya menirukan lirik lagu tersebut. Membuatku menggeleng sambil mendekati handphone seakan mau mematikannya. Ihsan terdiam sambil memegangnya, khawatir kuambil. Namun, bukan Ihsan jika tidak usil. Kembali suaranya mengikuti suara Afghan.

Siang itu, satu pelajaran yang dapat kuambil. Jika punya lagu, mending bikinin lagu khusus anak seusianya atau kegemarannya---asal tidak kelewatan liriknya, kemudian si gadget WAJIB dikunci. Jika dia ingin mendengarkan lagunya, jangan sekalipun memberikan kebebasan untuk membuka sendiri handphone/gadget tersebut.

Sidoarjo, 17062015

Marhaban Ya Ramadhan

Alhamdulillah, saat ini kita telah memasuki waktu yang sangat dinanti umat muslim di seluruh dunia. Satu bulan termulia di setiap tahunnya, di mana tiap harinya penuh barokah.

Hari-hari saat neraka ditutup dan pintu syurga terbuka lebar, ketika syaitan dibelenggu tidak hanya waktu adzan saja dan mereka tak mampu meloloskan diri, serta waktu ampunan diberikan bagi hamba-hamba yang diselimuti "khilaf dan alpa" pun saat terjadi turunnya rahmat berupa hidayah kepada hamba yang "terpilih"---tak perduli apa latar belakangnya.

Belum lagi satu masa ketika turunnya malam lailatul qadar--malam seribu bulan, yaitu satu malam seribu bulan, seperti surah Al-Qadr.

Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ (1) وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ (2) لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ (3) تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ (4) سَلَامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ (5)

“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Quran) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar.” (QS. Al Qadr: 1-5).

Maka dari itu, mari kita mulai berbenah diri menyambut bulan penuh kemuliaan ini, berbaik-baikan kepada seseorang yang telah kita jauhi, bersilaturahim dan meminta maaf terutama kepada orang tua, tak lupa saudara dan kerabat serta sahabat.

Dari hati, kami ucapkan Marhaban Yaa Ramadhan, selamat menunaikan ibadah puasa, semoga kita menjadi hamba-Nya yang mukmin setelah kita "menang" di hari nan suci nanti. Amiinn... Amiinn... Amiinn... Yaa rabbal 'alamin.

Celoteh Ihsan #7

Ihsan Mau Puasa?

Marhaban Ya Ramadhan. Betapa senangnya bagi umat muslim, karena di bulan ini semua amalan pahalanya berlipat ganda.

Nah, bicara tentang puasa. Baby boy yang merasa sudah besar, ingin ikutan puasa juga ceritanya, bunda. Mau tau gimana Ihsan berceloteh tentang puasa?

Ihsan : "Mom, kenapa di tipi ada banyak puasa?"

Saya : "Tivi gimana maksud Ihsan?"

Ihsan : "Bental. Sebental. Nanti lak ada, puasanya di tipi!" (Sambil fokus mengarah ke layar flat 21' di depannya)

Tak berapa lama berselang, muncul iklan produk minuman bertemakan puasa.

Ihsan : "Itu... itu, Mom! Loh, puasa...." (bangga sekali dia menunjukkan iklan tersebut, hehehe)

Saya : "Ihsan tau, puasa itu apa?"

Ihsan : (dengan gaya khas anak kecil sedang berfikir) Entah. Gak tau!"

Saya : "Trus, kenapa Ihsan suka liat iklan puasa?"

Ihsan : "Ihsan mau. Boleh la... boleh la..." (meniru gaya di salah satu scene Upin-Ipin, yakni mengatupkan kedua tapak tangannya dan mata disayukan)

Saya : "Lah, Ihsan aja gak tau apa puasa itu."

Ihsan : "Puasa itu... apa, Mom?"

Saya : "Puasa itu, hmmmm... semua umat muslim, gak boleh makan dan minum dari subuh sampai maghrib."

Ihsan : "Ihsan kan anak muslim, ya? Abi sama Ummi juga?"

Saya : "Iya. Abi, Ummi, Mom, Atuk semua puasa. Gak makan sama Gak minum dulu. Nanti waktu buka puasa, boleh makan sama minum lagi."

Ihsan : "Ihsan? Ihsan gak puasa?"

Saya : "Ihsan kan masih kecil, belum kuat puasa."

Ihsan : "Ihsan kan sudah besal. Udah mau sekolah ngunu. Ihsan mau puasa!" (Di sini emaknya girang 😁)

Saya : "Mau belajar puasa?"

Ihsan : (kembali berfikir)

Saya : "Ihsan enggak boleh makan sama minum loh ya. Nanti makannya pas sahur, waktu buka baru boleh makan sama minum."

Ihsan : "Enggak boleh makan? (Aku menggeleng) Minum juga enggak boleh? (Kembali kunggelengkan lagi). Besok aja ya. Ihsan sekalang mau minum dulu. Haus. Ayo Mom, ambilin teh di kulkas."

Saya : (sambil melangkah menuju lemari es) "Ihsan beneran mau belajar puasa?"

Ihsan : "He-eh. Benelan."

Saya : "Serius?"

Ihsan : "Iya, Mom. Mom... Mom. Tapi bental aja puasanya. Nanti Ihsan haus. Mom, Ihsan mau pelmen juga."
(Kemudian, dia berlari mendekati kakeknya) "Bi, mau pelmen?"

Abi dan Saya : "Abi puasa, Ihsan."

Ihsan : "Ini loh, pelmen." (Setengah memaksa)

Abi : "Buat Ihsan aja, habisin sendiri."

Ihsan : "Emoh, nanti giginya Ihsan lusak."

Saya : "Barusan aja diajarin puasa. Hayo?"

Ihsan : "Emmm... lupa." (Gayanya dengan kedua tapak tangannya dientakkan ke samping sisi masing-masingnya)

Saya : "Berarti besok Ihsan gak jadi puasa dong?"

Ihsan : "Puasa... iya-iya. Abi, Umi, Atuk, Mom sekalang puasa, ya? (Aku mengangguk) Besok Ihsan puasa juga."

Sidoarjo, 18062015