Minggu, 09 November 2014

FF Aku Bukan Pilihan

Selembar kertas terlepas dari genggaman Meira, hilang sudah rona yang biasa memancar dari wajah ayunya. Seakan itu pula darah menghilang membawa kesadaran sang dara manis.

***

"Maaf, Mas. Mei tak ada niatan untuk menduakan," Diantara isaknya, gadis itu mencoba menjelaskan kronologisnya.

Sang ibunda yang berasal dari kalangan darah biru memaksa Meira untuk menikah dengan anak lelaki seorang pengusaha, harapannya untuk mempererat hubungan kerja sama dua perusahaan. Singkat cerita, gadis itu tiba-tiba telah ditunangkan secara sepihak oleh beliau.

"Tapi, kenapa kau tidak berusaha untuk menolaknya, Mei?" Suara sang lelaki terdengar keras di telinga Meira, membuatnya semakin menjadi.

"Sudahlah, pergi saja, Mei. Jangan pernah menemuiku lagi!" Sang lelaki berkata demikian sambil memalingkan wajahnya. Tersirat pedih pada sorot setajam elang itu.

"Kumohon, maafkan Mei selama kita bersama, aku sering membuatmu terluka. Mungkin ini terakhir kali kita bertemu. Selamat tinggal, Alex. Goodbye My love," Dia langsung beranjak dari kursi, dan menghilang melalui pintu kafe---tempat favorit mereka berdua.

Selamat tinggal, cintaku. Sekali lagi maafkan aku, batin pilu Meira.

***

Satu tahun kemudian,

"Hey, Lex. Lu tau ga kabar terakhir si Mei-Mei?"

Alex bergeming, masih sibuk dengan notebooknya.

"Hey!" Dia protes, ketika sang sobat melepas headphone dan mengambil notebooknya.

"Elu dengerin omongan gue dulu. Ntar baru lanjutin tuh kesibukan lu. Karena ini berita penting."

Alex masih acuh, "Ada apa emangnya, dia sudah melahirkan bayi penerus keluarga, trus sang bayi adalah putera mahkota penerus singgasana bisnis mereka, eh, bisnis keluarganya dan suaminya."

"Elu kok sinis gitu, sih. Kalo kaga tau masalahnya, jangan ngomong sembarangan!" Pria berambut cepak itu terlihat sedih.

Alex merubah raut mukanya, intonasi sahabat karibnya sejak dahulu mengusiknya. Penasaran.

ada apa emang? Toh, selama setahun ini memang Meira tidak pernah menghubunginya, sama sekali. Pasti dia bahagia, kan? Pikirnya dengan keras.

"Meira sudah kembali, Lex. Dia telah meninggal sebulan yang lalu."

Ucapan Dio membuatnya sontak menyiratkan rasa tak percaya.

"Gue serius. Meira mengidap leukimia stadium akhir, menurut hasil pemeriksaan Agustus lalu, usianya hanya bertahan delapan bulan. Namun, dia mampu survive tiga bulan. Itu juga penuh perjuangan, demi ini," Dio menyerahkan sebuah kotak yang ternyata berisi surat-surat Meira setiap harinya. Selama tiga bulan terakhir hidupnya.

Alex tak mampu membendung dukanya, dia meraung dengan keras. Bayangan Meira mulai hadir kembali dalam pikirannya, berkelebat sejak awal pertemuan mereka hingga akhirnya berpisah.

"Maaf, Bro. Gue kaga berani jujur ke elu. Karena gue sudah janji ke Mei-Mei, ga bakalan ceritain apapun kecuali dia dah tenang di sana," Dio menepuk bahunya, dan melangkah keluar dari kamar kos sahabatnya itu. Meninggalkan Alex yang tertunduk meratapi kecerobohannya.

***

Dear Alexku,,,

Maafkan Mei, karena dengan  cara ini kita bertemu. Tapi, alamnya sudah berbeda. Ya, inilah detik-detik terakhir usiaku.

Sayang,

Ini tulisan yang terakhir, maut telah membayangiku beberapa hari yang lalu. Takdir merenggut hidupku. Cintaku. Kamuku.

oh ya, selamat ya... akhirnya kamu mendapatkan pekerjaan sesuai citamu. Impianmu telah terwujud, sesuai dengan harapanku. Karena apa yang kulakukan semata-mata demi mimpimu.

Alexku sayang,,,

Maafkan segala salah yang telah kutorehkan. Pasti Dio telah menceritakan kepadamu semuanya. Hanya gambar kirimannya tiap hari yang membuatku kuat menahan segala kesakitan pasca kemo. Wajahmu yang tampan kusimpan di bawah bantal, seakan kau menemaniku tiap kali terapiiii...

Surabaya, 15042015

Rabu, 08 Oktober 2014

Celoteh Ihsan #4

Benjol

Petang itu sama seperti sebelumnya, celoteh riang dengan gesitnya tapak mungil itu menjelajah mengitari ruang tengah tanteku. Namun, tanpa sebab dia pun berjongkok. Waduh, jangan-jangan...

"Mom, Ihsan pup!" ucapnya dengan wajah tanpa dosa.

See, firasatku membenarkan kecurigaan yang terlintas tadi.

"Ihsan udah pup?" Sambil mengayunkan tangan kananku memintanya mendekat.

Spontan guardian angel-ku menggeleng. "Pup di toiyet. Pupup di toiyet."

Tanpa ba-bi-bu, kami langsung ke kamar mandi. Setelah beberapa menit membujuknya agar berhenti bermain air, barulah dia keluar dari sana.

"Ihsan udah mamam, udah minum susu... tinggal?"

"Tinggal bo-bok," jawabnya sambil memberikan ekspresi wajah termanisnya.

"Kalo bobo, kok ke sana? Ada Atuk sholat Isya, Sayang," panggilku saat lelaki kecilku ini mulai usil ke tanteku yang suka dipanggil Atuk olehnya.

Belum menutup bibirku, satu helaan pun tak sempat terembus. Suara gedebug disusul pecah tangisannya. Buru-buru kuhampiri kesayanganku yang tengah banjir air mata.

"Ihsan ga apa-apa kan, Sayang?" Aku masih belum menyadari dahinya, karena terfokus mendukung lelaki kecilku.

"Akit Mommy... Akit!" keluhnya sambil menyentuh dahi.

Masya Allah, lukanya ternyata membekas begitu rupa. Dengan gemetar, aku mencari botol minyak tawon dan mengusapkannya. Tanteku yang selesai sholat ikut mendekat.

"Ma, tolong ambilin es batu," pintaku sambil membalur luka tadi dengan minyak ke dahi Ihsan yang ada dipangkuanku.

Tanteku langsung kembali sambil membawa handuk kecil dan kepingan kecil es batu. Setelah tertata, handuk yang berisi pecahan es tadi kuletakkan sebagai kompres. Tak ada tangisan pun lelehan bening yang keluar dari netranya.

"Ihsan kuat kan, Sayang?" tanyaku yang masih memeluknya.

"Ican kuat!" bisiknya lemah. Lenyap sudah cerianya, seakan menahan perih.

"Ini, dikompres dulu. Sambil bobo, ntar liat Hatim, ya," rayuku meletakkannya di atas kasur.

Dia hanya diam, sesekali mengeluh namun tidak mengucurkan air mata. Kuambil handphone di meja, pesan singkat kukirimkan.

"Ihsan... yang sakit di mana lagi?" Tanteku khawatir jika ada lebam di daerah yang lain.

Dia menggeleng, jari telunjuknya diletakkan pada dahinya yang bengkak.

"Ga ada lagi? Tangan... kaki?" Masih penasaran.

"Gak," sahutnya pelan.

Lelaki kecilku tergolek lemah, baru saja bibirnya sembuh seminggu ini, ada lagi polahnya, batinku.

"Ihsan gimana? Tadi habis jatuh di mana?" Ibu datang lima menit kemudian, sambil membawa buah favoritnya, anggur merah yang telah dikupas kulit dan dibuang isinya.

"Wes Bu, cek ne merem sik--Sudah lah, Bu. Biar Dia pejamin mata dulu,"

"Ihsan mau anggur?" goda Umminya, langsung disusul anggukan kepalanya.

Melihat Ihsan mengunyah buah tadi dengan lahap, tak tega jika dijejali pertanyaan.

Setelah anggurnya habis, ibu beranjak, "Ummi, mau ke Abi!" rengeknya sambil berdiri dan bersiap untuk dijunjung ibu, lupa sudah sakitnya.

Waduh...

Surabaya, 09102014

Kamis, 18 September 2014

Celoteh Ihsan #3

Pesawat!

Hari ini Abi dan Ummi pergi ke rumah sakit, waktu mereka kontrol dan mengambil obat. Adanya kartu BPJS membuatnya sedikit terbantu---walau tak jarang obat yang dipakai obat paten, demi kesembuhan mereka dengan segera. Jadi, aku dan Ihsan tinggal berdua di rumah.

Mumpung rumah sepi, bersih-bersih jadi tenang. Tak ada yang seliweran, Ihsan pun duduk tenang setelah kuberikan semangkuk sup kentang-wortel-bakso favoritnya buatan tanteku di sebelah rumah. Tak ketinggalan segelas Milo hangat dari Rais kapan hari. Hmmmm, jika mengingat perjuangannya demi mengantar ke rumah, batinku. Next time akan kuceritakan lebih lanjutnya, Insyaallah.

Kembali lagi ke aku dan pangeran kecil yang merasa home alone. Kala sibuk menyapu, dia nyeletuk, "Mom... pesawat! Itu pesawat!"

Sebenarnya yang dilihat itu helikopter milik pabrik rokok yang kebetulan sedang melintas, rupanya Ihsan masih belum bisa membedakan jenis pesawat.

"Itu namanya helikopter, Sayang."

"O.. helikoptel? Bukan pesawat ya, beda?"

"Pesawat juga, tapi pesawat kan jenisnya banyak. Liat pesawatnya Ihsan, kan beda." ujarku sambil mengambil mainan pesawatnya yang sudah terlihat banyak sambungannya.

Baby boyku terlihat manggut-manggut, "oh, kalo ini pesawat, ya. Kalo yang tadi helikoptel?"

"Kan di game Lego, Ihsan sudah tau helikopter bentuknya kaya apa." Ekali lagi dia menganggukkan kepala mungilnya.

"Besok Ihsan belikan helikoptel ya, Mom. Ya... ya.. ya..."

"Iya, minta Umi yah."

"Mom, ayo telpon Abi. Minta belikan helikoptel sekalang!" Aku cuman  senyum sambil bilang mau nerusin bebersih.

Surabaya, Oktober 2014

Kamis, 11 September 2014

Puisi 19 September 2014

Puisi untuk Acara Peringatan 19 September 2014

Pada ufuk singsing timur pejantan tanpa kokokannya, kicauan burung gereja senyap tak seperti biasa
Gemuruh langkah beribu asa menegakkan pelbagai senjata; arit, parang, bambu runcing-lah terutama

Tak gentar
Tekad nyalang bakar tiap semangat menggeliat tak bersarat
Komando Bung Tomo menggelegar
gelorakan lantang di medan perang sang pejuang rakyat

"Ini negeriku, ini tumpah darahku, bumiku, tanah yang kupijak dari alit hingga kini. Jangan rampas milik kami!" Doktrin kuat yang menancap lekat dalam tiap lafal mereka menjelang perang.

"Allahu Akbar! Allahu Akbar!" Pekik pematah mental para kompeni; sekutu-pukul mundur dan robek lah bendera warna biru!

Merah putihku berkibar dengan gagah, itu dulu!

Dua warna perlambang berani dan suci, tak bermakna lagi
Ingat kah masa penjajahan, arek Suroboyo bersusah payah mengalahkan tentara Belanda?
Kita terlena pada wajah rupawan dan sempurna gemerlap kota
Saat nurani buta nyatanya, kita terkungkung penjajah dari sesama

Merahku berani---kuatkan hati dengan segunung prestasi
Putihku suci---kembali bersih dengan toleransi

Arek Suroboyo pasti BISA!

Surabaya, 11 September 2014

Note: Dibaca waktu acara dengan Pak Ananto memperingati tanggal 19 semptember..

Senin, 17 Februari 2014

Dari Balik Sunyi


Satu garis takdir mengajak kita bersama
Tergelak, mata berair mengalir
suka cita, duka nestapa
Menjemput zahir yang tercuri di satu masa

Dan, satu koma membuat kita membumbui harihari penuh lara
hingga batas diri mencapai titik kulminasi---pada satu penghabisan cerita.

Kini, jejakku mencipta satu alinea pengganti,
lanjutkan waktu sempat terhenti.
Biarlah yang telah sudah
lembaran kertas tertata
jadikan bukti hidup berubah!

Tersenyumlah
Wahai kau yang kurindu
Cerialah, laiknya selalu
Biar kucumbui canda itu
hingga tetes beningmu takkan sempat terjatuh

Aku percaya kau sehebat bayangku

Diri belajar setia, berusaha sekuat tenaga tak berlari pergi.
Takkan melenyapkan segala mimpimimpi, dikarenakan janji ini slalu untukmu sang hati mati

Aku kan tetap di sini menepi di sebalik sunyi

Nowhere, Maret 2015

Rabu, 12 Februari 2014

Getar Rindu

Rindu menderu bak bayu
melaju sayu
Hati bergetar menjalar
seakan akar pagar
terpapar sinar

Katamu, bahasaku menipu

Apa lacur?
Kau buat hati ini hancur

Sayang,
Perih ini mulai merintih
Hampa menanti 'tuk bersua

Janji hati memadu kasih
Harap kau takkan beralih

13022014

Kamis, 30 Januari 2014

Cucu Baru Mbah Rin

"Assalamu'alaikum. Nduk, nduk. Kamu di rumah kan?" suara mbah Rin tetangga rumah sebelah.
Aku yang baru saja pulang dari menginap di rumah saudara beberapa hari, meletakkan Ihsan yang masih di gendongan di atas kasur sambil memberikan mainan kesukaannya, Angry Bird. Sambil tergopoh-gopoh menuju pintu samping dan membukanya. "Wa'alaikumsalam, Mbah. Ada apa ya?"
"Kamu punya kain bekas yang tidak terpakai?"
"Ada, Mbah. Buat apa ya?" tanyaku heran.
"Cucuku mau lahir nanti."
"Alhamdulillah. Kalau begitu, jangan pakai kain bekas Mbah. Ini selimut bekas lahiran-nya si Ihsan saja." kataku sambil mencari dalam almari.
"Loh, eman Nduk. Jangan kain ini, masih bagus. Mbah cuma butuh yang bekas saja."
Keningku berkerut, "Mbah Rin, kalau kain bekas yang dipakai, kasihan nanti si jabang bayinya."
"Wes ta lah, mana kain bekasnya?" ujar beliau sambil mengembalikan selimut ihsan.
Walaupun pikiranku tak setuju dengan tingkah pola beliau, tapi demi "bah Rin yang sedang merasakan euforia menjelang kelahiran cucunya, aku turuti saja kemauan beliau.
"Ini Mbah." kain bekas yang kucari sekitar sepuluh menit pun berpindah tangan ke beliau. Bingung juga, karena kebanyakan kain bekas sudah beralih fungsi menjadi kain lap.
"Alhamdulillah. Yo wes, Mbah mau pulang dulu. Mbah harus menyiapkan tempat untuk kelahiran cucu yang ke tiga."
Kok? batinku mulai tak enak.
"Loh, Mbah. Memangnya pakai bantuan Dukun Bayi?" Mbah Rin menggeleng.
"Kenapa ga ke bidan saja sih, Mbah Rin?"
"Kenapa harus ke bidan? Biarkan saja, toh nanti juga lahir sendiri." jawab beliau santai.
"Maksudnya Mbah?"
"Ayo, sini ikut Mbah Rin. Kamu mau sekalian membantu Mbah, menyiapkan kardus."
Hah? Kardus?
Kepalaku semakin pusing, tapi langkahku tetap mengiringi nenek yang usianya hampir menginjak 80 tahun.
Aku semakin bingung ketika memasuki rumah beliau, terlihat sepi lengang. Tak ada tanda kehidupan dalam rumah tersebut. Apalagi suara khas ketika seorang Wanita yang sedang berkontraksi.
Dan hal tersebut semakin diperkuat oleh sang nenek yang mengambil sebuah kardus bekas dan meletakkan kain bekas kedalamnya.
"Manis. Sini sayang." Panggil mbah Rin.
Tak berapa lama, muncullah seekor kucing betina yang sedang berjalan tertatih-tatih, perutnya terlihat besar menggembung tanda akan segera melahirkan, "Meowwww."