Selembar kertas terlepas dari genggaman Meira, hilang sudah rona yang biasa memancar dari wajah ayunya. Seakan itu pula darah menghilang membawa kesadaran sang dara manis.
***
"Maaf, Mas. Mei tak ada niatan untuk menduakan," Diantara isaknya, gadis itu mencoba menjelaskan kronologisnya.
Sang ibunda yang berasal dari kalangan darah biru memaksa Meira untuk menikah dengan anak lelaki seorang pengusaha, harapannya untuk mempererat hubungan kerja sama dua perusahaan. Singkat cerita, gadis itu tiba-tiba telah ditunangkan secara sepihak oleh beliau.
"Tapi, kenapa kau tidak berusaha untuk menolaknya, Mei?" Suara sang lelaki terdengar keras di telinga Meira, membuatnya semakin menjadi.
"Sudahlah, pergi saja, Mei. Jangan pernah menemuiku lagi!" Sang lelaki berkata demikian sambil memalingkan wajahnya. Tersirat pedih pada sorot setajam elang itu.
"Kumohon, maafkan Mei selama kita bersama, aku sering membuatmu terluka. Mungkin ini terakhir kali kita bertemu. Selamat tinggal, Alex. Goodbye My love," Dia langsung beranjak dari kursi, dan menghilang melalui pintu kafe---tempat favorit mereka berdua.
Selamat tinggal, cintaku. Sekali lagi maafkan aku, batin pilu Meira.
***
Satu tahun kemudian,
"Hey, Lex. Lu tau ga kabar terakhir si Mei-Mei?"
Alex bergeming, masih sibuk dengan notebooknya.
"Hey!" Dia protes, ketika sang sobat melepas headphone dan mengambil notebooknya.
"Elu dengerin omongan gue dulu. Ntar baru lanjutin tuh kesibukan lu. Karena ini berita penting."
Alex masih acuh, "Ada apa emangnya, dia sudah melahirkan bayi penerus keluarga, trus sang bayi adalah putera mahkota penerus singgasana bisnis mereka, eh, bisnis keluarganya dan suaminya."
"Elu kok sinis gitu, sih. Kalo kaga tau masalahnya, jangan ngomong sembarangan!" Pria berambut cepak itu terlihat sedih.
Alex merubah raut mukanya, intonasi sahabat karibnya sejak dahulu mengusiknya. Penasaran.
ada apa emang? Toh, selama setahun ini memang Meira tidak pernah menghubunginya, sama sekali. Pasti dia bahagia, kan? Pikirnya dengan keras.
"Meira sudah kembali, Lex. Dia telah meninggal sebulan yang lalu."
Ucapan Dio membuatnya sontak menyiratkan rasa tak percaya.
"Gue serius. Meira mengidap leukimia stadium akhir, menurut hasil pemeriksaan Agustus lalu, usianya hanya bertahan delapan bulan. Namun, dia mampu survive tiga bulan. Itu juga penuh perjuangan, demi ini," Dio menyerahkan sebuah kotak yang ternyata berisi surat-surat Meira setiap harinya. Selama tiga bulan terakhir hidupnya.
Alex tak mampu membendung dukanya, dia meraung dengan keras. Bayangan Meira mulai hadir kembali dalam pikirannya, berkelebat sejak awal pertemuan mereka hingga akhirnya berpisah.
"Maaf, Bro. Gue kaga berani jujur ke elu. Karena gue sudah janji ke Mei-Mei, ga bakalan ceritain apapun kecuali dia dah tenang di sana," Dio menepuk bahunya, dan melangkah keluar dari kamar kos sahabatnya itu. Meninggalkan Alex yang tertunduk meratapi kecerobohannya.
***
Dear Alexku,,,
Maafkan Mei, karena dengan cara ini kita bertemu. Tapi, alamnya sudah berbeda. Ya, inilah detik-detik terakhir usiaku.
Sayang,
Ini tulisan yang terakhir, maut telah membayangiku beberapa hari yang lalu. Takdir merenggut hidupku. Cintaku. Kamuku.
oh ya, selamat ya... akhirnya kamu mendapatkan pekerjaan sesuai citamu. Impianmu telah terwujud, sesuai dengan harapanku. Karena apa yang kulakukan semata-mata demi mimpimu.
Alexku sayang,,,
Maafkan segala salah yang telah kutorehkan. Pasti Dio telah menceritakan kepadamu semuanya. Hanya gambar kirimannya tiap hari yang membuatku kuat menahan segala kesakitan pasca kemo. Wajahmu yang tampan kusimpan di bawah bantal, seakan kau menemaniku tiap kali terapiiii...
Surabaya, 15042015