Rabu, 08 Oktober 2014

Celoteh Ihsan #4

Benjol

Petang itu sama seperti sebelumnya, celoteh riang dengan gesitnya tapak mungil itu menjelajah mengitari ruang tengah tanteku. Namun, tanpa sebab dia pun berjongkok. Waduh, jangan-jangan...

"Mom, Ihsan pup!" ucapnya dengan wajah tanpa dosa.

See, firasatku membenarkan kecurigaan yang terlintas tadi.

"Ihsan udah pup?" Sambil mengayunkan tangan kananku memintanya mendekat.

Spontan guardian angel-ku menggeleng. "Pup di toiyet. Pupup di toiyet."

Tanpa ba-bi-bu, kami langsung ke kamar mandi. Setelah beberapa menit membujuknya agar berhenti bermain air, barulah dia keluar dari sana.

"Ihsan udah mamam, udah minum susu... tinggal?"

"Tinggal bo-bok," jawabnya sambil memberikan ekspresi wajah termanisnya.

"Kalo bobo, kok ke sana? Ada Atuk sholat Isya, Sayang," panggilku saat lelaki kecilku ini mulai usil ke tanteku yang suka dipanggil Atuk olehnya.

Belum menutup bibirku, satu helaan pun tak sempat terembus. Suara gedebug disusul pecah tangisannya. Buru-buru kuhampiri kesayanganku yang tengah banjir air mata.

"Ihsan ga apa-apa kan, Sayang?" Aku masih belum menyadari dahinya, karena terfokus mendukung lelaki kecilku.

"Akit Mommy... Akit!" keluhnya sambil menyentuh dahi.

Masya Allah, lukanya ternyata membekas begitu rupa. Dengan gemetar, aku mencari botol minyak tawon dan mengusapkannya. Tanteku yang selesai sholat ikut mendekat.

"Ma, tolong ambilin es batu," pintaku sambil membalur luka tadi dengan minyak ke dahi Ihsan yang ada dipangkuanku.

Tanteku langsung kembali sambil membawa handuk kecil dan kepingan kecil es batu. Setelah tertata, handuk yang berisi pecahan es tadi kuletakkan sebagai kompres. Tak ada tangisan pun lelehan bening yang keluar dari netranya.

"Ihsan kuat kan, Sayang?" tanyaku yang masih memeluknya.

"Ican kuat!" bisiknya lemah. Lenyap sudah cerianya, seakan menahan perih.

"Ini, dikompres dulu. Sambil bobo, ntar liat Hatim, ya," rayuku meletakkannya di atas kasur.

Dia hanya diam, sesekali mengeluh namun tidak mengucurkan air mata. Kuambil handphone di meja, pesan singkat kukirimkan.

"Ihsan... yang sakit di mana lagi?" Tanteku khawatir jika ada lebam di daerah yang lain.

Dia menggeleng, jari telunjuknya diletakkan pada dahinya yang bengkak.

"Ga ada lagi? Tangan... kaki?" Masih penasaran.

"Gak," sahutnya pelan.

Lelaki kecilku tergolek lemah, baru saja bibirnya sembuh seminggu ini, ada lagi polahnya, batinku.

"Ihsan gimana? Tadi habis jatuh di mana?" Ibu datang lima menit kemudian, sambil membawa buah favoritnya, anggur merah yang telah dikupas kulit dan dibuang isinya.

"Wes Bu, cek ne merem sik--Sudah lah, Bu. Biar Dia pejamin mata dulu,"

"Ihsan mau anggur?" goda Umminya, langsung disusul anggukan kepalanya.

Melihat Ihsan mengunyah buah tadi dengan lahap, tak tega jika dijejali pertanyaan.

Setelah anggurnya habis, ibu beranjak, "Ummi, mau ke Abi!" rengeknya sambil berdiri dan bersiap untuk dijunjung ibu, lupa sudah sakitnya.

Waduh...

Surabaya, 09102014